1
VISKOSITAS DAN BERAT MOLEKUL KITOSAN HASIL REAKSI
ENZIMATIS KITIN DEASETILASE ISOLAT
Bacillus papandayan K29-141
([Viscosity and Molecule Weight of Enzymatic Reaction Chitosan by
Chitin Deacetylase from Bacillus papandayan K29-14 Isolate)
Emma Rochima1), Maggy T.Suhartono2), Dahrul Syah2) , Sugiyono 2)
1) Staf Pengajar Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNPAD
2) Staf Pengajar Dept. TPG, Fak. Teknologi Pertanian, IPB
1)Email: emma@unpad.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis viskositas dan berat molekul kitosan
yang dideasetilasi oleh enzim kitin deasetilase termostabil isolat Bacillus
papandayan K29-14 hasil presipitasi ammonium sulfat 80% jenuh dengan
aktivator MgCl2 1 mM. Larutan kitosan 1% diinkubasi dengan kitin deasetilase
berkekuatan 0.04 U/mg pada 55oC selama 1 jam. Viskositas kitosan diukur
dengan viskometer Ubbelohde, dan berat molekul berdasarkan persamaan Mark-
Houwink. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa deasetilasi enzimatis dapat
meningkatkan derajat deasetilasi lebih dari 90% jika derajat deasetilasi awalnya
lebih dari 70%. Namun, deasetilasi enzimatis menurunkan viskositas intrinsic dan
berat molekul kitosan dari 6.93 ml/g menjadi 4,87 ml/g dan dari 6.06 x 103
menjadi 4.13 x 103 .
Kata kunci: viskositas intrinsic, berat molekul, kitosan
ABSTRACT
The objective of the research is to analyse viscosity and molecule weight of
chitosan which deacetylated by termostable chitin deacetylase produced by
Bacillus papandayan K29-14 which was precipitated by 80% ammonium sulfat
with MgCl2 1 mM. Chitin deacetylatilase 0.04 U/mg was added with soluble
chitosan 1%, then incubated at 55o C for 1 hour. Chitosan viscosity was measured
by Ubbelohde viskometry and molecule weight based on Mark-Houwink
equation. The result of this study concluded that enzymatic deacetylation
increased the degree of deacetylation more than 90% if the initial deacetylation
degree more than 70%. In the other hand, the enzymatic deacetylation decreased
the intrinsic viscosity of chitosan was from 6.93 to 4.87 ml/g and also molecule
weight was from 6.05 103 to 4.13 x 103.
Key words: intrinsic viscosity, molecule weight, chitosan
1 Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Kongres Perhimpunan Ahli Teknologi
Pangan Indonesia (PATPI) 2007, di Hotel Preanger Bandung pada tanggal 17-18 Juli 2007
2
PENDAHULUAN
Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas merupakan sumber daya
alam yang tidak habis-habisnya. Belum semua potensi kelautan yang ada telah
dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan udang untuk keperluan konsumsi
menghasilkan limbah dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara
komersial. Cangkang hewan invertebrata laut, terutama Crustacea mengandung
kitin dalam kadar tinggi, berkisar antara 20-60% tergantung spesies. Cumi-cumi
mempunyai kandungan kitin paling sedikit, sekitar 20%, sedangkan cangkang
kepiting dapat mengandung kitin sampai 70% (Muzzarelli 2000). Lebih dari
80.000 metrik ton kitin diperoleh dari limbah laut dunia per tahun (Patil, 2000),
di Indonesia limbah kitin yang belum dimanfaatkan sebesar 56.200 metrik ton per
tahun (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2000).
Sekitar 35% dari cangkang kering udang mengandung kitin. Dari kitin
udang dapat dihasilkan sekitar 80% kitosan (No dan Meyer, 1997). Harga kitosan
di pasaran dunia adalah sekitar US$ 7.5/10g untuk kitosan dengan standar baik.
Saat ini, 90% pasaran kitosan dunia dikuasai oleh Jepang dengan produksi lebih
dari 100 juta ton setiap tahunnya (Tsigos et al., 2000). Indonesia dengan potensi
laut lebih luas daripada Jepang mempunyai peluang untuk mengambil bagian dari
pasaran kitosan dunia.
Kitin, polimer alami kedua yang paling banyak tersedia di alam setelah
selulosa, merupakan polimer aminoglukan dari N-asetil-D-glukosamin yang tidak
larut air. Beberapa manfaat yang dapat diambil dari kitin, yaitu di bidang
pertanian antara lain dengan memanfaatkan sifat antifunginya untuk melindungi
tanaman dari serangan fungi dan sifat antibakterinya terhadap beberapa patogen
(Shahidi et al., 1999)
Manfaat tersebut tidaklah sebesar manfaat yang dapat diambil dari turunan
kitin, seperti kitosan. Kitosan yang dapat larut dalam asam lemah serta bermuatan
positif, diperoleh dari deasetilasi kitin menjadi polimer D-glukosamin. Kitosan
dan turunannya telah banyak dimanfaatkan secara komersial dalam industri
pangan, kosmetik, pertanian, farmasi pengolahan limbah dan penjernihan air.
Dalam bidang pangan, kitosan dapat dimanfaatkan dalam pengawetan pangan,
3
bahan pengemas, penstabil dan pengental, antioksidan serta penjernih pada produk
minuman. Selain itu, kitosan banyak diaplikasikan sebagai pangan fungsional
karena dapat berfungsi sebagai serat makanan, penurun kadar kolesterol,
antitumor serta prebiotik (Dunn et al. 1997; Shahidi et al. 1999).
Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan dilakukan di industri secara
termokimia menggunakan alkali kuat pada suhu tinggi. Hasil dari proses ini
belum sepenuhnya memuaskan sebab kualitas kitosan yang dihasilkan masih
bervariasi dalam berat molekul, viskositas dan derajat deasetilasi. Selain itu,
proses termokimia juga membutuhkan energi dalam jumlah besar untuk
menghasilkan dan mempertahankan suhu tinggi serta menghasilkan limbah dan
produk samping berupa alkali dengan konsentrasi tinggi yang berpotensi menjadi
toksik bagi lingkungan. Oleh lkarena itru diperlukan alternatif, proses deasetilasi
dapat dilakukan secara enzimatis menggunakan kitin deasetilase (CDA) sehingga
diharapkan akan lebih mudah dikendalikan, lebih efisien, spesifik dan
meminimalkan produk samping (Tsigos et al. 2000), serta memiliki viskositas dan
berat molekul spesifik pula.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka tujuan penelitian ini menganalisis
viskositas dan berat molekul kitosan hasil aplikasi enzimatis CDA sebagai
langkah awal pemanfaatan kitin dan kitosan yang lebih luas baik di industri
pangan maupun biomedis.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PP
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor mulai bulan Januari sampai dengan
Desember 2004.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kitin dari limbah
pengolahan rajungan asal Cirebon. Untuk produksi kitosan digunakan bahan
NaOH, HCl, Na-bikarbonat, asam asetat. Bahan lainnya adalah isolat Bacillus
4
papandayan K29-14 hasil skrining koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan
Biokimia PAU Institut Pertanian Bogor, akuades, buffer borat pH 8, Nabikarbonat
2%, I mM EDTA, K2HP04, NaCl, (NH4)2SO4, MgS04.7H20, ekstrak
kamir, bacto tripton, bacto agar, glikol kitosan, dan kitin komersial. Untuk
pengukuran aktivitas enzim digunakan glikol kitin sebagai substrat, buffer dengan
pH optimum, NaNO2 5%, asam asetat 33%, amonium sulfamat 12.5%, HCI 5%,
Indol 0,1%, etanol absolut, glukosamin standar.
Alat yang digunakan adalah inkubator goyang, centrifuge, pH-meter, alat
timbang, pipet mikro, bulb, peralatan gelas, evendorph, fraction collector, kolom
kromatografi DEAE Sephadex A-50, spektrofotometer FDUV, oven, desikator,
viskometer Ubbelohde.
Metode
Penelitian dilakukan dalan 2 (dua) tahap yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama dan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk menentukan kondisi optimum
proses deasetilasi yang menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi minimal
50% dengan perlakuan perendaman kitin dalam larutan NaOH 50% pada suhu dan
waktu perendaman yang bervariasi yaitu perendaman pada suhu 60 O C selama
0,5; 1, 3, dan 24 jam, serta suhu 80 O C selama 0,25; 1, 2, 3 jam. Kitin yang telah
direndam dibilas dengan air sampai pH netral dan dikeringkan kemudian
ditentukan derajat deasetilasinya.
Produksi enzim
Kultur Bacillus papandayan K29-14 diinkubasi dalam media termus pada
55o C selama dua hari, hasilnya dipanen dengan disentrifugasi 10.000 rpm selama
20 menit. Filtrat bebas sel diuji unit aktivitas CDA dengan metode Tokuyasu et al.
1996 dan kadar protein dengan metode Bradford 1976..
5
Penelitian utama
Penelitian utama ini didasarkan atas kondisi terbaik yang dilakukan pada
penelitian pendahuluan.
Gambar 1. Tahapan penelitian
Pengendapan dengan amonium sulfat
Amonium sulfat ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam ekstrak kasar
enzim sambil distirrer sampai kejenuhan 80% (konsentrasi 50-60% b/v).
Campuran diendapkan semalam pada suhu 4oC lalu disentrifugasi pada 8000 rpm
selama 15 menit. Pellet yang diperoleh dilarutkan dalam 0.02 M buffer borat
sesuai pH optimum enzim lalu disimpan pada suhu 4oC.
Produksi enzim
Ekstrak enzim kasar
Pengendapan
Pelet enzim
Kitin rajungan
Perendaman dalam NaOH 50%
pada variasi suhu dan waktu:
60 OC: 0,5; 1, 3, dan 24 jam
80 O C: 0,25; 1, 2, 3 jam.
Kitin yang telah
terdeasetilasi sebagian
Deasetilasi enzimatis
Analisis: Viskositas dan
berat molekul kitosan
Proses terpilih
6
Deasetilasi enzimatis
Deasetilasi enzimatis menggunakan enzim hasil presipitasi amonium sulfat
80%. Sebanyak 1 ml soluble kitosan 1% diinkubasi dengan enzim sebanyak 0.005
U/ml dengan kekuatan 0.04 U/mg kitosan lalu diinkubasi pada 55 oC selama
24 jam.
Pengukuran Viskositas Kitosan
Viskositas kitosan diukur menggunakan Ubbelohde dilution viscometer.
Viskositas terbagi tiga jenis yaitu viskositas spesifik (sp ), kinematik, dan
intrinsik (). Viskositas spesifik dihitung berdasarkan perbandingan antara
kecepatan aliran suatu larutan dengan pelarutnya. Caranya dengan membuat
variasi konsentrasi mulai 20-100% dalam pelarut asam asetat aqueous 0.1 M dan
sodium klorida 0.2 M lalu dimasukkan ke dalam viskometer. Waktu yang
dibutuhkan sampel untuk mengalir antara dua level dalam viskometer dicatat.
Sebagai blanko, digunakan pelarut asam asetat aqueous 0.1 M dan sodium klorida
0.2 M dengan cara yang sama. Viskositas spesifik dihitung dengan rumus:
sp = t – to
to
Keterangan:
sp = viskositas spesifik
t = waktu alir larutan sampel satu level
to = waktu alir pelarut satu level
Viskositas kinematik diperoleh dengan mempertimbangkan densitas
larutan. Viskositas spesifik dan kinematik dipengaruhi oleh konsentrasi larutan.
Viskositas intrinsik dihitung dari perbandingan antara viskositas spesifik dengan
konsentrasi larutan (sp/C) yang diekstrapolasi sehingga nilai konsentrasi larutan
mendekati nol. Dengan demikian nilai kelarutan tidak berpengaruh terhadap
viskositas intrinsik.
7
Pengukuran Berat Molekul Kitosan
Berat molekul kitosan diukur berdasarkan viskositas instrinsik (). Larutan
kitosan dibuat dalam variasi konsentrasi 20-100% dalam pelarut asam asetat
aqueous 0.1 M dan sodium klorida 0.2 M lalu dimasukkan ke dalam viskometer.
Data yang diperoleh dipetakan pada grafik sp /C terhadap C. Viskositas intrinsik
adalah titik pada grafik yang menunjukkan nilai C=0. Berat molekul ditentukan
berdasarkan persamaan Mark-Houwink (Hwang et al, 1997) yaitu:
[] = kM
Keterangan:
[] = viskositas intrinsik
k = konstanta pelarut
= konstanta
M = berat molekul
HASIL DAN PEMBAHASAN
Derajat Deasetilasi Kitosan Kimiawi
Produksi kitosan secara kimiawi dilakukan dengan penambahan NaOH
50% yang diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Derajat deasetilasi hasil reaksi
kimiawi diukur menggunakan spektrofotometer First Derivative Ultra Violet
(FDUV) pada panjang gelombang 201.8 nm. Hasil pengukuran derajat deasetilasi
kitosan yang diproduksi secara kimiawi diperlihatkan pada Tabel 1 berikut ini.
Perendaman dalam larutan NaOH bertujuan untuk mengubah konformasi
kristalin kitin yang rapat sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk
mendeasetilasi polimer kitin (Martinou et al. 1995). Akan tetapi perendaman
dalam NaOH konsentrasi tinggi ( 40%) akan meningkatkan derajat deasetilasi
dan mengakibatkan terjadinya depolimerisasi memutuskan ikatan antara gugus
karboksil dengan atom nitrogen (No dan Meyer 1997)
8
Tabel 1. Derajat deasetilasi kitosan kimiawi
Suhu
(oC)
Waktu
(jam)
Derajat
Deasetilasi (%)
0.5 52.51
1.0 60.97
3.0 84.15
60
24 99.12
0.25 65.65
1.0 70.70
2.0 99.30
80
3.0 99.41
Kitin Tanpa Perlakuan 38.02
Selain itu kitin lebih tahan terhadap proses deasetilasi dengan penambahan
alkali, yang biasanya menimbulkan masalah pada senyawa bergugus N-asetil. Hal
ini disebabkan karena struktur kitin yang tebal dan ikatan hidrogen diantara atom
nitrogen sangat kuat serta mempunyai karboksil pada rantai berikutnya. Oleh
karena itu perendaman dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan waktu
yang singkat. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Martinou, 1995 yang
menyatakan bahwa larutan NaOH mampu merubah konformasi kitin yang sangat
rapat menjadi renggang sehingga enzim lebih mudah terekspos untuk
mendeasetilasi polimer kitin.
Perendaman dalam alkali dilakukan terhadap sampel kitin dalam bentuk
tepung. Penepungan dilakukan agar proses deasetilasi dapat berlangsung lebih
cepat dan sempurna, karena semakin luasnya permukaan yang dapat diakses oleh
larutan alkali (No dan Meyers, 1997). Deasetilasi akan berlangsung mulai dari
permukaan kitin, lalu memasuki wilayah amorf dari kitin dan secara bertahap
deasetilasi terjadi sampai ke wilayah kristalin kitin (Chang et al. 1997) Rasio
larutan NaOH terhadap kitin yang digunakan adalah sebesar 1:10 b/v. Menurut
No dan Meyer (1997), rasio 1:10 menghasilkan peningkatan laju deasetilasi lebih
cepat, akan tetapi Chang et al (1997) menyatakan bahwa pengaruh rasio larutan
NaOH terhadap kitin tidak signifikan pada laju deasetilasi.
9
Suhu dan lama perendaman pada larutan NaOH yang meningkat
mengakibatkan derajat deasetilasi meningkat pula (Tabel 1). Derajat deasetilasi
tertinggi setelah direndam NaOH pada 60 oC selama 24 jam dan 80 oC selama
3 jam. Kenaikan suhu sebesar 20 oC (dari 60 oC menjadi 80 oC) dapat
meningkatkan derajat deasetilasi sebesar 9,7% (dari 60.97% menjadi 70.70%)
pada perendaman 1 jam dan 15% (dari 84.15% menjadi 99.41%) pada
perendaman 3 jam. Sedangkan lama perendaman yang semakin tinggi dari 1 jam
sampai 3 jam meningkatkan derajat deasetilasi sebesar 23.18% pada 60 oC dan
29% pada 80 oC. Dengan demikian kenaikan derajat deasetilasi lebih dipengaruhi
oleh kenaikan suhu daripada perpanjangan waktu. Kolodziejska 2000 menguatkan
hal ini bahwa kenaikan derajat deasetilasi sebesar 8% (dari 68% menjadi 76%)
dengan memperpanjang lama perendaman NaOH 50% dari 1.5 jam sampai 3 jam
pada 60 oC. Suhu dan lama perendaman NaOH berpengaruh terhadap pemecahan
rantai molekul kitin. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi (di atas 150 oC)
menyebabkan pemecahan ikatan polimer (depolimerisasi) rantai molekul kitosan
sehingga menurunkan berat molekul kitosan. Sedangkan pada suhu di bawah 100
oC, pemutusan gugus asetil tidak berlangsung sempurna dan membutuhkan waktu
lebih lama (Johson 1982). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kitosan hasil
perlakuan 80 oC selama 1 jam dipergunakan untuk deasetilasi enzimatis karena
telah mencapai derajat deasetilasi 70%.
Deasetilasi enzimatis
Proses deasetilasi enzimatis meningkatkan derajat deasetilasi 5-30%,
tergantung pada derajat deasetilasi awal (Tabel 2). Semakin tinggi derajat
deasetilasi awal, semakin kecil peningkatan derajat deasetilasi yang terjadi.
Derajat deasetilasi di atas 90% hanya dapat dicapai pada sampel dengan derajat
deasetilasi awal di atas 75%. Diduga bahwa semakin lama perlakuan awal secara
kimia yang diberikan pada sampel, konformasi sampel akan semakin merenggang
sehingga enzim dapat lebih mudah mendeasetilasi.
10
Tabel 2. Derajat deasetilasi kitosan enzimatis hasil presipitasi
Suhu
(oC)
Waktu
(jam) Kimiawi
Derajat Deasetilasi
(%) dalam 0.04 U/mg
kitosan
0.5 52.51 84.07
1 60.97 85.43
3 84.15 88.06
60
24 99.12 99.74
0.25 65.65 75.85
1 70.7 87.81
2 99.3 99.36
80
3 99.41 99.47
Derajat deasetilasi awal yang rendah juga menunjukkan masih banyaknya
jumlah residu asetil yang belum terpotong. Lebih banyak residu asetil
menunjukkan lebih banyak substrat yang tersedia untuk reaksi enzim. Sesuai
dengan kinetika enzim, semakin banyak substrat yang tersedia, laju reaksi akan
semakin cepat dan akan menurun jika jumlah substrat berkurang (Suhartono
1989). Diduga hal inilah yang menyebabkan peningkatan derajat deasetilasi
setelah deasetilasi enzimatis terjadi lebih tinggi pada kitosan dengan derajat
deasetilasi awal lebih rendah.
Kitosan hasil kimiawi dilarutkan dalam asam asetat 0.1 M sampai
konsentrasi akhir 1% dengan pH 4. Selanjutnya ditambahkan Na-asetat 0.25 M
untuk meningkatkan pH menjadi 6. Hal ini dimaksudkan agar larutan tidak
mengendap pada pH 4, namun tetap dalam bentuk soluble, juga agar enzim CDA
lebih aktif. Kenaikan pH hanya sampai dengan pH 6 walaupun CDA baru bekerja
optimum pada pH 8, disebabkan jika pH terlalu tinggi, kitosan akan mengendap
kembali. Rahayu et al. (2004) menyatakan bahwa Na-asetat tidak menghambat
aktivitas CDA.
Selain itu CDA lebih mudah penetrasi ke dalam substrat berbentuk
soluble kitosan daripada bentuk tepung, karena dalam bentuk soluble reaksi
menjadi lebih homogen di setiap bagian. Hal ini sesuai dengan Kolodziejska,
2000 yang mendeasetilasi soluble kitosan hingga mencapai derajat deasetilasi
11
sampai 99%. Namun dengan CDA dari M. rouxii yang diekspos dalam bentuk
kristalin dan amorf, kenaikan derajat deasetilasinya masing-masing hanya 0.5%
dan 9.5% (Martinou, 1995). CDA dari C.lindemuthianum derajat deasetilasinya
meningkat sekitar 0.5% dan 4.5% untuk kitin dalam bentuk yang sama (Tsigos
dan Bouriotis, 1995).
Kolodziejska et al (2000) menggunakan CDA ekstrak kasar dari Mucor
rouxii sebesar 40 mU/ml soluble kitosan. Deasetilasi enzimatis mampu
meningkatkan derajat deasetilasi kitosan mulai 5-30%, semakin tinggi derajat
deasetilasi awal maka peningkatan derajat deastilasi semakin rendah. Derajat
deasetilasi di atas 90% dapat dicapai pada sampel dengan derajat deasetilasi awal
di atas 75%. Hal ini diduga karena reaksi kimiawi pada awal pembuatan kitosan
mengakibatkan konformasi semakin merenggang sehingga enzim lebih mudah
mendeasetilasi.
Derajat deastilasi juga dipengaruhi oleh jumlah enzim yang ditambahkan.
Pada umumnya semakin banyak enzim ditambahkan, maka derajat deasetilasi
semakin tinggi, namun kisaran peningkatannya kecil. Hal ini kemungkinan
karena kisaran enzim yang digunakan tidak terlalu luas sehingga pengaruhnya
belum signifikan.
Viskositas Kitosan Enzimatis
Nilai viskositas dinyatakan dalam viskositas spesifik, kinematik dan intrinsik.
Viskositas spesifik ditentukan dengan membandingkan secara langsung kecepatan
aliran suatu larutan dengan pelarutnya. Viskositas kinematik diperoleh dengan
memperhitungkan densitas larutan. Baik viskositas spesifik maupun kinematik
dipengaruhi oleh konsentrasi larutan.
Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer Ubbelohde
yang termasuk jenis viskometer kapiler. Untuk penentuan viskometer larutan
polimer, viskometer kapiler yang paling tepat adalah viskometer Ubbelohde.
Pada viskometer Ubbelohde, pengukuran viskometer dilakukan dengan
menentukan waktu yang dibutuhkan oleh sejumlah volume larutan untuk mengalir
di antara dua tanda kalibrasi. Waktu alir larutan ini kemudian dibandingkan
12
dengan waktu alir pelarut murninya. Dengan cara ini akan diperoleh nilai
viskositas spesifik, yang tidak mempunyai satuan (Harrington, 1984).
Secara umum, viskositas lebih banyak dinyatakan dengan satuan Poise.
Terminologi viskositas yang menghubungkan viskositas dalam Poise dengan
viskositas spesifik adalah viskositas kinematik, yang diperoleh dari perkalian
viskositas dengan densitas larutan. Viskositas kinematik dihubungkan dengan
viskositas spesifik melalui koefisien kinematik yang besarannya tergantung pada
viskometer kapiler yang digunakan (Harrington, 1984).
Tabel 3. Pengaruh deasetilasi enzimatis terhadap viskositas kitosan
Suhu
(oC)
Waktu
(jam)
Viskositas
Spesifik dalam
0.04 U/mg
Viskositas
kinematik (cSt)
dalam 0.04 U/mg
0.5 0.203 0.961
1 0.214 0.970
3 0.294 1.034
60
24 0.643 1.313
0.25 0.193 0.954
1 0.253 1.001
2 0.226 0.980
80
3 0.240 0.991
Dalam Tabel 3, nilai viskositas dinyatakan dalam viskositas spesifik dan
viskositas kinematik. Walaupun terminologi viskositas kinematik lebih umum
digunakan, viskositas spesifik tetap digunakan sebab nilainya diperlukan untuk
penentuan viskositas intrinsik dan berat molekul.
Viskositas spesifik dan kinematik larutan kitosan hasil deasetilasi enzimatis
cenderung mengalami peningkatan dengan semakin lamanya waktu perendaman
secara kimiawi dan meningkatnya suhu. Viskositas spesifik dan kinematik
tertinggi diperoleh setelah perendaman dalam larutan NaOH pada 60 oC selama 24
jam dan 80 oC selama 1 jam .
Kenaikan suhu sebesar 20 oC (dari 60 menjadi 80 oC) selama 1 jam
menghasilkan peningkatan viskositas spesifik sebesar 3,9% (dari 0.214 menjadi
0.253). Kenaikan suhu 20 oC selama 3 jam menurunkan viskositas spesifik dari
13
0.294 menjadi 0.240. Lama perendaman yang semakin tinggi dari 1 jam sampai 3
jam menghasilkan fenomena yang sama seperti kenaikan suhu. Pada 60 oC,
viskositas spesifik meningkat dengan meningkatnya kekuatan enzim yang
digunakan, dan viskositas lebih tinggi (8%). Karenanya, kenaikan viskositas lebih
dipengaruhi oleh kenaikan suhu daripada perpanjangan waktu. Peningkatan
viskositas diduga karena masih tingginya kandungan asetil dalam kitosan
sehingga dengan kenaikan suhu yang semakin tinggi, semakin banyak asetil
terlarutkan, sehingga derajat deasetilasi meningkat, dan viskositas meningkat
(menjadi lebih kental seperti gel) dengan meningkatnya suhu. Adapun lama waktu
deasetilasi berhubungan dengan proses depolimerisasi dimana semakin lama
kitosan dideasetilasi maka depolimerisasi semakin tinggi sehingga viskositas
menurun (Bastaman 1989).
Nilai kelarutan kitosan sangat dipengaruhi oleh viskositas spesifik dan
kinematik namun tidak dipengaruhi oleh viskositas intrinsik. Pengaruh perlakuan
kimiawi dan enzimatis dapat ditunjukkan secara lebih jelas oleh viskositas
intrinsik. Viskositas intrinsik diperoleh dari kurva rasio antara viskositas spesifik
dengan konsentrasi yang diekstrapolasi hingga konsentrasinya mendekati nol.
Dengan demikian pengaruh konsentrasi ditiadakan (Hwang et al. 1997).
Hubungan Derajat Deasetilasi, Viskositas Intrinsik dan Berat Molekul
Kitosan
Untuk mengamati hubungan antara perlakuan perendaman dengan NaOH
terhadap viskositas dan berat molekul, dipilih dua sampel yaitu kitosan hasil
perendaman pada suhu 80 oC dengan waktu 1 dan 2 jam. Kedua sampel dipilih
karena derajat deasetilasi yang tinggi (di atas 70%) dan adanya perbedaan yang
signifikan antara keduanya dalam hal derajat deasetilasi dan kelarutan (Tabel 4)
berikut.
Nilai viskositas intrinsik kitosan sebelum dideasetilasi enzimatis
meningkat 16 kali (dari 31.17 menjadi 499.07 ml/g) dengan meningkatnya derajat
deasetilasi sebesar 28.6% (dari 70.7% menjadi 99.3%). Nilai viskositas intrinsik
14
dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, konsentrasi, berat molekul, kekuatan ion, pH
dan suhu saat pengukuran (Dunn et al. 1997).
Tabel 4. Hubungan derajat deasetilasi kitosan dengan viskositas intrinsik
dan berat molekul
Sebelum Deasetilasi Enzimatis Setelah Deasetilasi Enzimatis
Derajat
Deasetilasi
(%)
Viskositas
Intrinsik
(ml/g)
Berat
Molekul
(103)
Derajat
Deasetilasi
(%)
Viskositas
Intrinsik
(ml/g)
Berat
Molekul
(103)
70.70
31.17
30.697
87.81
6.93
6.05
99.3
499.07
613.853
99.36
4.87
4.13
Peningkatan viskositas intrinsik sebelum deasetilasi enzimatis sebesar 16
kali dapat meningkatkan berat molekul sekitar 20 kali (Tabel 4). Berat molekul
berhubungan dengan derajat polimerisasi. Polimer rantai lurus seperti kitosan
akan menunjukkan peningkatan densitas jika derajat polimerisasi bertambah.
Dengan demikian, viskositas intrinsik juga akan meningkat. Wang et al. (1991)
menunjukkan hubungan linier antara nilai log viskositas intrinsik dengan nilai log
berat molekul, untuk larutan kitosan dengan derajat deasetilasi sama.
Setelah deasetilasi enzimatis, derajat deasetilasi kitosan meningkat (dari
87.81% menjadi 99.36%) tetapi menurunkan viskositas intrinsik (6.93 ml/g
menjadi 4.87 ml/g) dan berat molekul (dari 6.05x103 menjadi 4.13x103).
Penurunan viskositas hanya mungkin terjadi jika selama inkubasi dengan enzim
terjadi degradasi rantai polimer atau depolimerisasi. Dugaan ini dikonfirmasi oleh
nilai berat molekul yang juga menurun selama deasetilasi enzimatis.
Penurunan viskositas setelah deasetilasi enzimatis juga dilaporkan oleh
Kolodziejska et al (2000). Viskositas larutan kitosan menurun sebesar satu log
setelah inkubasi dengan enzim selama 16 jam. Akan tetapi Kolodziejska et al.
(2000) tidak melakukan penentuan berat molekul sehingga tidak dapat dilakukan
pembandingan. Enzim CDA yang digunakan telah diberi perlakuan pengendapan
pada pH 4.
15
Depolimerisasi diduga karena adanya enzim-enzim pendegradasi kitin dan
kitosan yang lain di dalam ekstrak enzim CDA dari Bacillus K29-14. Rahayu
(2000) telah mengisolasi kitinase dari Bacillus K29-14 selain CDA dan mungkin
juga terdapat kitosanase. Beberapa protease juga dapat menyebabkan
depolimerisasi kitin dan kitosan (Muzzarelli 1997), dan bukan tidak mungkin
disekresi juga oleh Bacillus K29-14. Sekresi protease mungkin terjadi karena
diinduksi oleh adanya protein dalam medium pertumbuhan, yang dapat berasal
dari komponen medium, seperti yeast extract, atau dari enzim-enzim yang
disekresi oleh mikroba ke medium untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Kitosan yang memiliki berat molekul yang lebih besar lebih sensitif terhadap
depolimerisasi dan tidak terjadi perubahan struktur selama proses tersebut yang
terdeteksi oleh spektrofotometer infra red dan proton nuclear magnetic resonance
(Mao et al. 2004).
Variasi waktu dan lama perendaman alkali terhadap kitin dapat
menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang berbeda-beda. Proses yang
dipilih akan tergantung pada tujuan aplikasi kitosan. Masing-masing bentuk
aplikasi membutuhkan kitosan dengan karakteristik yang berbeda-beda. Kitosan
dengan derajat deasetilasi tinggi, lebih dari 85%, dan berat molekul rendah
dibutuhkan sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan, antitumor dan
immunoenhancing. Untuk aplikasi sebagai membran dan pengemas dibutuhkan
kitosan dengan derajat deasetilasi sekitar 70% dan berat molekul tinggi.
KESIMPULAN
Viskositas intrinsik kitosan menurun dari 6.93 sampai 4.87 ml/g, demikian
pula berat molekul kitosan dari 6.05 sampai 4.13 x 103 karena deasetilasi
enzimatis oleh kitin deasetilase berkekuatan 0,04 U/mg isolat Bacillus
papandayan K29-14. Deasetilasi enzimatis dapat meningkatkan derajat deasetilasi
di atas 90% apabila derajat deasetilasi awal di atas 70%.
16
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini terselenggara atas biaya dari Research Grant Program Hibah
Kompetisi B Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor
tahun 2004.
DAFTAR PUSTAKA
Bastaman S. 1989. Studies on degradation and extraction pf chitin and chitosan
from Prawn shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and
Chemical Engineering. Queen’s Univ. Belfast
Bradford M. M. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of
microgram quantities of protein dye binding. Anal Biochem 72:248-254.
Chang KLB., G.Tsai, J. Lee dan W. Fu. 1997. Heterogenous N-deacetylation of
chitin in alkaline solution. Carbohydr Res 303:327-332
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2003.
Perkembangan ekspor komoditi hasil perikanan Indonesia 1998-2002. url:
http://www.dkp.go.id/
Dunn, ET., EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. 1997. Applications and
properties of chitosan. Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin
and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30
Harrington R.E. 1984. Viscosity. Di Dalam D.W. Gruenwedel dan J.R.
Whitaker. Food Analysis: Principles and Techniques, Vol 2,
Physicochemical Techniques. Marcel Dekker, Inc., New York
Hwang JK, SP Hong, CT Kim. 1997. Effect of molecular weight and NaCl
concentration on dilute solution properties of chitosan. J Food Sci Nutr 2:
1-5
Johnson EL. Dan QP. Peniston. 1982. Utilization of shellfish wastes for
production of chitin and chitosan. Chemistry and Biochemistry of Marine
Food Product. The AVI. Connecticut
Kolodziejska I, Wojtasz-Pajak A, Ogonowska G, and Sikorski Z E. 2000.
Deacetylation of chitin in two-stage chemical and enzymatic process. Bull
Sea Fish Inst, 150:15-24
17
Mao S, Shuai X, Unger F, Simon M, Bi D, Kissel T. 2004. The polymerization of
chitosan: effects on physicochemical and biological properties. Int J Pharm,
281:45-54
Martinou, A., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. 1995. Chitin deacetylation by
enzymatic means: monitoring of deacetylation processes. Carbohydr Res
273:235-242
Muzzarelli, RAA. 1997. Depolymerization of chitins and chitosans with
hemicellulase, lysozyme, papain, and lipases. Di Dalam RAA. Muzzarelli
dan MG Peter (ed). Chitin Handbook. European Chitin Soc, Grottamare
No H.K dan S.P. Meyers. 1997. Preparation of chitin and chitosan. Di Dalam
R.A.A. Muzzarelli dan M.G. Peter (ed). Chitin Handbook. European
Chitin Soc., Grottamare
Patil, R. S., V. Chormade, and M. V. Desphande. 2000. Chitinolytic enzymes
an exploration. Enz Microb Technol 26:473-483.
Rahayu S., Tanuwijaya F., Rukayadi Y., Suwanto A., Suhartono, MT., Hwang
JK., Pyun YR. 2004. Study of thermostable chitinase enzymes from
Indonesian Bacillus K29-14. J Microbiol Biotech 4:647-652
Shahidi F, Arachchi JKV, and Jeon YJ. 1999. Food applications of chitin and
chitosans. Trends Food Sci Technol 10:37-51
Suhartono M.T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi, IPB
Tokuyasu, K., M. O. Kameyama, and K. Hayashi. 1996. Purification and
characterization of extracellular chitin deacetylase from Colletotrichum
lindemuthianum. Biosci Biotech Biochem 10:1598-1603.
Tsigos, I., A. Martinou, Kafetzopoulos and V. Bouriotis. 2000. Chitin
deacetylases: New versatile tools in biotechnology. TIBTECH Rev, 18: 305-
312.
Tsigos I. dan V. Bouriotis. 1995. Purification and characterization of chitin
deacetylase from Colletotrichum lindemuthianum . J Biol Chem, 270:26286
26291
Wang W, S. Bo, S. Li, W. Qin. 1991. Determination of Mark-Houwink equation
for chitosans with different degrees of deacetylation. Int J Biol Macromol,
13:281-285
18
Senin, 09 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar